Dalam beberapa tahun terakhir, tren kontroversial yang dikenal sebagai “Sultanking” telah mendapatkan popularitas di dunia online. Tren ini, yang melibatkan individu yang menggambarkan diri mereka sebagai bangsawan atau mengadopsi gaya hidup mewah dan mewah, telah memicu perdebatan sengit di antara pengguna media sosial. Sementara beberapa orang melihatnya sebagai kesenangan yang tidak berbahaya dan bentuk ekspresi diri, yang lain mengkritiknya sebagai pengambilan budaya dan mempromosikan materialisme dan kedangkalan.
Istilah “sultanking” diyakini berasal dari kata “sultan,” yang mengacu pada penguasa atau pemimpin di negara -negara Islam. Tren ini melibatkan individu, kebanyakan orang dewasa muda, berdandan dalam pakaian yang rumit dan mewah, memposting foto dan video diri mereka yang bersantai di pengaturan mewah, dan memamerkan harta mahal seperti pakaian desainer, perhiasan, dan mobil. Beberapa bahkan melangkah sejauh yang mengaku sebagai keturunan royalti atau mengadopsi gelar kerajaan untuk diri mereka sendiri.
Para pendukung Sultanking berpendapat bahwa itu adalah bentuk ekspresi diri dan cara bagi individu untuk melarikan diri dari monoton kehidupan sehari-hari. Mereka melihatnya sebagai cara untuk menyalurkan kreativitas dan imajinasi mereka, dan untuk mengeksplorasi berbagai aspek diri mereka sendiri. Selain itu, beberapa orang berpendapat bahwa sultanking dapat memberdayakan bagi individu yang mungkin merasa terpinggirkan atau tertindas dalam masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk merebut kembali rasa kekuatan dan hak pilihan mereka.
Namun, kritik terhadap tren tersebut berpendapat bahwa Sultanking bermasalah karena beberapa alasan. Pertama, mereka menunjukkan bahwa tren dapat melanggengkan stereotip dan kesalahpahaman yang berbahaya tentang budaya dan bangsawan Islam. Dengan menggambarkan diri mereka sebagai sultan atau putri, individu dapat secara tidak sengaja memperkuat stereotip tentang para pemimpin Islam yang luar biasa dan tidak berhubungan dengan kenyataan. Selain itu, para kritikus berpendapat bahwa Sultanking mempromosikan materialisme dan konsumerisme, mendorong individu untuk memprioritaskan kepemilikan materi dan penampilan luar daripada nilai dan kualitas yang lebih bermakna.
Selain itu, para kritikus berpendapat bahwa Sultanking adalah bentuk apropriasi budaya, karena individu yang bukan milik budaya Islam mengadopsi simbol dan citra yang terkait dengannya untuk hiburan dan kenikmatan mereka sendiri. Ini dapat dilihat sebagai tidak sopan dan tidak sensitif terhadap mereka yang termasuk dalam budaya, karena mengurangi tradisi dan simbol mereka menjadi aksesori atau tren mode.
Sebagai kesimpulan, tren Sultanking telah memicu perdebatan sengit di antara pengguna media sosial, dengan para pendukung melihatnya sebagai bentuk ekspresi diri dan pemberdayaan yang tidak berbahaya, sementara para kritikus memandangnya sebagai masalah dan berpotensi berbahaya. Seperti halnya tren apa pun, penting bagi individu untuk mempertimbangkan implikasi dan konsekuensi dari tindakan mereka, dan untuk memperhatikan dampak yang mungkin mereka miliki pada orang lain. Hanya melalui dialog terbuka dan pemahaman kita dapat mulai mengungkap warisan Sultanking dan implikasinya yang kontroversial.